Self-Harm to Self-Love
Dunia
pendidikan akhir-akhir ini menjadi sorotan, setelah 52 siswa di sebuah Sekolah Menengah
Pertama di Bengkulu Utara melakukan self-harm terhadap dirinya sendiri.
Mereka melakukan self-harm dengan berbagai macam motif, seperti masalah keluarga,
stres hingga asmara yang akhirnya nekat menyakiti dirinya sendiri, dengan cara
menyayat tangannya dengan benda tajam seperti silet.
Self-harm
atau self-injury adalah tindakan fisik yang disengaja untuk menyakiti
diri sendiri, seperti memotong, menyayat, menggaruk atau memukul diri sendiri,
dll. Orang-orang yang melakukan self-harm seringkali merasa tidak
terkendali atau terasing. Dan mungkin menggunakan self-harm sebagai cara
untuk mengurangi tekanan emosional atau untuk merasa hidup.
Penyebab
self-harm bisa sangat kompleks dan berbeda-beda untuk setiap individu.
Namun, beberapa faktor yang bisa mempengaruhi termasuk gangguan mental seperti
depresi, kecemasan, atau trauma masa lalu, dll. Selain faktor diri sendiri, faktor
lingkungan dan sosial, seperti masalah dalam keluarga atau tekanan dari
teman-teman, lingkungan sekolah atau masyarakat juga bisa memainkan peran. Lalu
siapa yang patut dipersalahkan?
Self-harm
dipengaruhi oleh beberapa faktor intern dan ekstern. Faktor intern,
dalam kaitannya self-harm dengan krisis identitas pada remaja. Sedangkan
faktor ekstern, lingkungan dan sosial media. Untuk itu penulis akan
mencoba mengurai pentingnya self-love (penghargaaan diri sendiri) yang
akan berpengaruh besar kepada kepribadian remaja. Kemudian bagaimana cara
memproteksi diri dari gangguan dan pengaruh intern-ekstern untuk
mengubah perilaku self-harm.
Pengertian
self-harm
Dikutip
dari Detikedu (Jumat, 9 Juli 2021) Gadjah Mada Medical Center Universitas
Gadjah Mada (GMC-UGM) mengadakan seminar virtual bertemakan self-harm Senin
(05/07/2021). Dua pakar psikologi UGM, Nurul Kusuma dan Nopi Rosyida memberikan
beberapa pandangannya tentang self-harm (melukai diri sendiri).
Kata
Nurul, “Self-harm adalah semua hal yang dilakukan untuk menyakiti diri
sendiri, self-harm menggambarkan berbagai hal yang dilakukan orang
terhadap diri mereka sendiri dengan cara yang disengaja dan biasanya
tersembunyi. Jadi, objek self-harm ini adalah diri sendiri.” self-harm
terdiri dari dua jenis berdasarkan sifatnya, yaitu yang Nonsuicidal Self
Injury (NSSI) serta yang mengarah pada suicidal attempt (percobaan
bunuh diri).
NSSI merupakan cara maladaptif untuk mengatasi perasaan yang sulit dikelola, pikiran mengganggu, atau ingatan tentang peristiwa menyakitkan. Maladaptif sendiri adalah perilaku yang membuat seseorang tidak dapat atau sulit untuk beradaptasi dengan keadaan baru. Setelah adanya perubahan besar dalam hidup, penyakit, atau peristiwa traumatis.
Dalam psikologi, sebetulnya NSSI bukan merupakan diagnosa klinis, belum masuk dalam kategori seperti depresi, anxiety. Jadi pada prinsipnya ini bukan merupakan diagnosa. Tetapi ini merupakan perilaku berbahaya yang harus mendapatkan perhatian, karena bisa berisiko bunuh diri jika tidak segera tertangani.
Krisis identitas, lingkungan dan sosial media
Dikutip dari koran Jawa Pos (16/3/2023) terjadi self-harm yang dilakukan oleh 52 siswa di Bengkulu Utara dari tim investigasi mengatakan beberapa macam yang mempengaruhi self-harm antara lain, krisis identitas, orang tua dan teman, sosial media.
Pertama, krisis identitas remaja adalah kondisi psikologis yang sering terjadi pada masa pubertas dan remaja. Di mana remaja merasa bingung atau tidak yakin tentang siapa diri mereka sebenarnya, termasuk nilai-nilai, minat, dan tujuan hidup mereka. Penyebab krisis identitas remaja bisa sangat kompleks dan berbeda-beda untuk setiap individu. Namun, beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi di antaranya:
Perubahan fisik dan biologis. Selama masa pubertas, tubuh remaja mengalami banyak perubahan fisik dan biologis yang mungkin membuat mereka merasa tidak nyaman atau tidak yakin tentang penampilan atau jati diri mereka. Terkadang dengan penampilan fisik mereka mendapat perlakuan bullying di sekolah atau lingkungan sekitar.
Perubahan sosial. Remaja mulai membentuk identitas sosial mereka. Perubahan sosial seperti perceraian keluarga dapat mempengaruhi cara remaja memandang diri mereka sendiri dan tempat mereka dalam masyarakat.
Tekanan dari orang tua. Remaja mungkin merasa tertekan oleh harapan yang diletakkan oleh orang tua, termasuk harapan akademik atau karier. Sehingga mereka merasa dituntut menjadi yang terbaik yang menyebabkan mereka stres dan depresi.
Trauma atau konflik dalam keluarga. Dapat mempengaruhi cara remaja melihat diri mereka sendiri dan orang di sekitar mereka. Mungkin sampai terjadi perceraian orang tuanya, sangat berpengaruh kepada sikap dan kepercayaan diri anak.
Kedua, sosial media, mereka melihat dari berbagai macam sinetron, film yang mempertontonkan kekecewaan yang memperlihatkan aksi self-harm untuk mengatasi perasaannya. Banyak sekali tontonan bukan lagi tuntunan yang terjadi seiring dengan semakin canggihnya teknologi.
Merupakan tantangan bagi orang tua dari pengaruh eksternal diri yang harus diwaspadai remaja saat ini. Orang tua harus memberikan pemahaman dan membatasi penggunaan gadget. Jangan menunggu anak menjadi korban tontonan di sosial media, baru mencari solusinya. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?
Ketiga, asmara. Masa pubertas adalah masa transisi dari anak-anak menuju remaja, anak sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Banyak remaja yang labil belum bisa mengelola emosinya, memilih menyendiri dan tidak menceritakan masalahnya membuat remaja terdorong untuk melakukan self-harm.
Perkembangan kognitif. Remaja mengalami perkembangan kognitif yang signifikan, termasuk kemampuan untuk berpikir secara abstrak (tidak berwujud) dan mengambil keputusan. Proses ini mungkin memunculkan pertanyaan dan keraguan tentang siapa diri mereka sebenarnya dan apa yang mereka inginkan.
Penting untuk diingat bahwa krisis identitas remaja adalah proses normal dan alami selama masa perkembangan mereka. Namun, jika remaja merasa kesulitan dalam menemukan identitas, mereka membutuhkan pendampingan orang tua, guru dan masyarakat dalam proses pembentukan jati dirinya.
Beberapa strategi untuk mengalihkan self-harm
Pertama, bagi seseorang yang timbul dorongan untuk melukai diri sendiri, seseorang bisa
mengalihkan diri dari keinginan tersebut dengan melakukan aktivitas fisik untuk
menurunkan kemarahan maupun ketegangan, seperti memasak, bernyanyi, dll.
Kedua,
mengenali hal-hal yang dapat menjadi pemicunya, menyadari sensasi tubuh saat
dorongan melukai diri sendiri muncul, dan mencari dukungan sosial (support
system). Dengan menceritakan masalah ke orang-orang terdekat yang bisa
dipercaya dan memberikan solusi.
Ketiga,
melakukan melakukan journaling/menulis diary. Dengan menulis memunculkan
rasa tenang mengungkapkan semua yang dirasakan. Menulis bisa menjadi salah satu
cara untuk healing bagi remaja. Keempat, memberikan self-reward
berupa makanan favorite, me time, dll setelah menyelesaikan
ujian, atau mengalihkan masalah agar pikiran lebih segar. Kelima, mencari
bantuan dari profesional kesehatan mental yang tepat untuk lebih lanjut jika
diperlukan.
Apabila
menjadi saksi atas orang yang melakukan self-harm, kita dapat
mengidentifikasi risiko perilaku tersebut serta mencari tahu apakah terdapat
anggota tubuh yang terluka dan memberi penanganan. Orang di dekat pelaku self-harm,
bisa bersikap tenang dam menunjukkan rasa peduli.
Lingkungan
seperti teman, keluarga lebih aware dengan lingkungan sekitar. Lebih
peka jika ada remaja yang sudah mulai berubah sikap menjadi pendiam, suka
menyendiri. Jadilah orang yang pertama memberikan bantuan untuk menjadi tempat sharing
agar remaja tidak merasa sendiri. Memberikan support system kepada
remaja agar mereka lebih bisa percaya diri, tidak mudah terpengaruh.
Self-love
is solution
Self-love
adalah sikap positif dan penghargaan diri sendiri. Ini mencakup mencintai dan
menerima diri sendiri apa adanya, baik sisi positif maupun negatifnya, serta
merawat diri secara fisik, emosional, dan spiritual.
Self-love
juga berarti menghormati dan menghargai batasan-batasan diri sendiri, dan
memperlakukan diri sendiri dengan cara yang baik dan sayang, memberikan waktu
merawat diri. Beberapa cara memunculkan self-love diantaranya:
Pertama,
self-talk adalah percakapan yang kita lakukan dengan diri sendiri. Ini
dapat menjadi monolog internal (suara dalam pikiran) positif atau
negatif yang terjadi di dalam pikiran kita. Pentingnya self-talk dalam
proses self-love terletak pada kemampuannya untuk mempengaruhi persepsi
kita tentang diri kita sendiri. Dan pada akhirnya, membentuk rasa cinta dan
penghargaan pada diri sendiri.
Self- talk memberikan afirmasi positif
membuat remaja menanamkan satu proteksi yaitu sebuah penerimaan diri. Pikiran
dan kata-kata yang kita ucapkan pada diri sendiri dapat berdampak pada emosi
dan tindakan kita. Misalnya, jika kita memiliki self-talk yang negatif,
seperti "Saya bodoh" atau "Saya tidak bisa melakukan ini",
kita mungkin merasa kurang percaya diri atau kehilangan motivasi untuk mencoba
melakukan sesuatu.
Sebaliknya, jika kita memiliki self-talk
yang positif, seperti "Saya mampu" atau "Saya bisa
melakukannya", kita cenderung merasa lebih percaya diri dan termotivasi
untuk mencoba melakukan sesuatu yang lebih baik.
Kedua,
kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan menggunakan
emosi secara efektif. Ini mencakup kesadaran akan emosi remaja sendiri,
kemampuan untuk mengatur emosi, dan kemampuan untuk mengambil tindakan yang
tepat berdasarkan emosi tersebut.
Kecerdasan
emosi penting dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan pribadi maupun
lingkungan. Ini dapat membantu meningkatkan kualitas hubungan, mengelola stres
dan tekanan, dan membantu mencapai tujuan pribadi. Remaja mampu berpikir
positif sebelum melakukan tindakan.
Ketiga,
kehidupan spiritual atau religius dapat menjadi bagian penting dalam proses self-love
karena dapat membantu individu untuk menemukan makna dan tujuan hidup mereka.
Spiritualitas dapat memperkuat konsep self-love dengan memberikan
pandangan yang lebih luas tentang diri sendiri dan lingkungan sekitar, dan
dapat memperkuat hubungan dengan diri sendiri dan keberadaan yang lebih besar.
Melalui
praktik spiritual, seperti salat, refleksi, atau doa, individu dapat lebih
terhubung dengan diri mereka sendiri, dengan sesama, dan dengan sesuatu yang
lebih besar. Hal ini dapat membantu memperkuat rasa kedamaian dan rasa syukur
dalam diri sendiri, yang dapat membantu dalam proses self-love.
Komentar
Posting Komentar