Ketika Istri Marah



Dalam kehidupan rumah tangga ada kalanya tidak selalu bahagia. seperti yang di alami seorang istri dalam kehidupan sehari-harinya. Terkadang emosinya tak terkontrol dan marah menjadi pemandangan hampir setiap hari ia lakukan. Dan mungkin kita juga pernah mengalami?
Bahkan zaman dahulu ada seorang sahabat sedang galau, lantaran sering dimarahi istrinya. Karena tidak tahan dimarahi istri, ia bermaksud menceraikan istrinya. Tetapi sebelum cerai ia konsultasikan ke khalifah Umar bin Khaththab terlebih dahulu.
 
Maka bergegaslah sahabat itu menuju kerumah umar. Tetapi ketika tiba di depan rumah umar, urung untuk mengetuk pintu. Sahabat tersebut mendengar dari dalam rumah suara istri umar sedang marah. Tidak terdengar suara Umar sama sekali, melawan atau membantah.

Tidak jadi mengetuk pintu rumah Umar. Sahabat tersebut melanjutkan langkahnya untuk pulang. Sambil berjalan, dia bergumam "Kalau Umar saja sebagai Khalifah yang dikenal tegas dan pemberani, seperti itu sikapnya, bagaimana dengan didriku?"

Baru beberapa langkah meninggalkan rumah Umar, Umar pun membuka pintu. Melihat sahabatnya, umar pun memanggilnya. "Saudara, ada keperluan apa saudara datang kerumahku?"

Sahabat itu menjelaskan kalau ia ingin berkonsultasi mengenai keluarganya. Ia ceritakan tentang istrinya yang suka marah-marah. "Namun aku mendengar istri khalifah sendiri berbuat sama (marah). aku tidak ingin mengganggu, sementara Khalifah sendiri sedang ada masalah yang sama.

Mendengar itu Umar pun menjelaskan kenapa alasan tidak membalas kemarahan sang istri. menurutnya, istri sudah bekerja memasak, mencuci baju, mengasuh dan mendidik anak-anak. "Aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Karena itu, aku menerima, sekalipun dimarahi," kata Umar.

Sahabat tersebut bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah aku juga harus berbuat demikian terhadap istriku?", "ya terimalah marahnya. Karena yand dilakukan istrimu itu tidak akan lama, hanya sebentar."

                                                                            *** 
Marah, sebenarnya bukan karakter dasar perempuan. Tetapi kemarahan muncul karena ada peristiwa yang melatarbelakanginya. Artinya, seseorang yang marah pasti ada penyebabnya, bukan terjadi secara tiba-tiba. Reaksi yang timbul bermula dari perasaan yang sudah tidak bisa tertahan, dikeluarkan oleh ucapan dan sikap. 

Banyak suami yang kurang memahami ini, salah paham, heran, sikap istri berubah dan mempertanyakan apakah sudah tidak suka lagi? dan memilih perceraian daripada mencari akar masalahnya. Mungkin dari hal-hal sepele bisa menyulut amarah seorang istri dari meletakkan handuk basah, lupa menutup pintu, membuang sampah sembarangan hal-hal kecil ini menjadi sebuah pemicu kemarahan, tetapi yang terjadi sebenarnya bukan hal itu tetapi kelelahan istri yang berusaha mengabdi sepenuh hati merasa tidak dihargai, tidak ada empati bahkan kata terima kasih sekalipun. 

Faktor kelelahan dan keterbatasan fisik seorang perempuan, mungkin dalam kesehariannya berkutat dengan anak dan kegiatan rumah tangga yang sudah menguras otak dan fisiknya. Karena mengurus anak adalah hal yang tidak gampang dan ringan bagi seorang istri. Dari bangun tidur sampai tidur lagi sehingga rasa stres, lelah, kesal, capek membuat psikologinya ikut berpengaruh.

Itulah akumulasi masalah yang menyebabkan istri marah, apalagi kalau seorang istri yang mempunyai anak banyak, belum lagi aktivitas lain seperti bekerja, berjualan, atau mengajar tentu akan lebih lelah dalam kesehariannya.

Faktor perhatian, setelah istri melakukan berbagai aktivitasnya suami hendaklah berempati perhatian. Ketika istri memasak seorang suami hendaknya membantu seperti menjaga anak, atau ikut membantu membersihkan rumah. Kepekaan suami dalam hal ini harus diperlukan, memberikan suport kepada istri agar istri tidak merasa sendiri dengan apa yang dia lakukan.

Apresiasi, terkadang istri memerlukan apresiasi dari suaminya. Bukan lebay atau manja, tetapi hal kecil apresiasi ucapan terima kasih, atau memberikan hadiah yang tidak terlalu mahal, atau oleh-oleh sepulang kerja sudah menjadi bentuk apresiasi kepada istri selama di rumah. Ketika suami tidak memberikan apresiasi membuat istri menjadi sensitive dan akhirnya memicu kemarahan, yang tidak memandang situasi dan kondisi.

Bagaimana sikap suami ketika istri sedang marah

Dalam menyikapi amarah hendaklah dengan kepala dingin, ada beberapa hal yang suami ketahui diantaranya:
Pertama, suami harus tahu ketika istri marah itu adalah luapan emosinya, bukan sebuah fakta tetapi opini yang keluar dari dalam diri seorang istri dalam bentuk protes untuk mendapatkan perhatian suami, istri sedang lelah, emosinya tidak sedang stabil.

Kedua, suami tidak perlu membalas kemarahan istri dengan emosi. Karena bukan menjadi solusi tetapi malah memperbesar emosi, apalagi malah memukul atau kekerasan fisik lainnya. Butuh kesabaran dari suami, karena sejatinya istri hanya butuh didengar keluh kesahnya dan di respon. Meskipun tidak semudah itu suami merespon dengan kesabaran, tetapi harus dilakukan proses pendewasaan, kematangan emosi dari suami sebagi kepala rumah tangga, yang bertugas mendidik istri dan anaknya. Meskipun ini berat, tetapi harus dilatih untuk menahan amarah agar tidak terpancing emosi.

Ketiga, berempatilah pada kebutuhan istri, sesekali suami mengajak istri pergi makan, atau pergi ke pasar sekadar membeli lauk pauk sayuran untuk kebutuhan sehari-hari.

Keempat, memberi dukungan kepada istri. suami adalah support system istri yang pertama. Ikut andil dalam kegiatan istri membantu pekerjaan istri, ketika anak sudah besar bisa berbagi tugas dengan anak-anak juga.

Ada ungkapan berdua lebih baik itu benar adanya, selain membuat pekerjaan menjadi ringan, beban istri yang penat berkutat dengan anak dan pekerjaan rumah bisa teratasi. Ketika istri senang dia akan menjadi Istri dan Ibu paling baik sedunia, menjadikan rumahku adalah surgaku kian nyata.



Komentar

  1. Sepakat dengan suami yang ikut andil dalam mengurusi berbagai aktivitas harian di dalam rumah. Jika dapat bantuan begitu, sebenarnya perasaan istri pun akan jauh lebih tenteram. Budaya patriaki sesungguhnya bukanlah budaya Islam ya. Sebab suami dan istri memang diajarkan untuk saling dukung dalam berbagai urusan keseharian, bukan satunya dilayani dan satunya sibuk melayani.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul Mbak, manfaat yang diambil lainnya ketika antara suami dan istri saling membantu semakin solid juga antara keduanya dan tak kalah penting, jadi pelajaran berharga anak-anak kita yang biasanya anak akan meniru ketika mereka sudah besar dan berkeluarga pola seperti ini juga akan dilakukannya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dalam Kenakalan Anak Ada Kecerdasan

3 Stimulasi Dasar yang Harus dimiliki Orang Tua

Kesehatan Mental: Realitas yang Sering Dikaburkan